Sabtu, 03 Februari 2018

Pecahan Kasih Sayang


Buku Antologi Cerpen 'Rumahku Akan Selalu Indah'
Assalamu'alaikum, 좋은 밤이예요!

Malam ini aku hampir lupa lagi untuk update, jadi kuputuskan untuk post cerpenku jaman 2015 barangkali dulu aku menulisnya, samar-samar aku ingat ditahun itu.

Bulan Februari aku berencana mengirim tulisan ke beberapa lomba antara lain; cerpen, esai, dan artikel blog. Jadi, bulan ini blog akan kuisi cerpen-cerpenku yang dulu, supaya waktunya bisa kugunakan untuk lomba. Aku berharap menang, tapi aku paham betul, sebelum itu ada kegagalan beruntun yang mungkin akan dirasakan, seperti sebelumnya.

Yang terpenting istiqomah menulis, tidak labil seperti dulu. Ingin jadi penulis best seller, tapi ogahan nulisnya. Ica, kamu sehat? 😂


So, happy reading yaa, cerpen ini berdasarkan kisah nyata yang tentu dilebaykan bahasanya, hmm tapi lebih banyak relevannya kok. 😉
---
(Bagian 1)

Lemari besi berwarna putih di tepi ranjang kembali kosong seperti lima hari sebelumnya. Seluruh barang telah rapi dalam tas berwarna hitam dan putih dari plastik. Ruang bercat putih masih tampak terang, satu lampu neon masih menyala meski di siang hari. Ruang di lantai dua ini juga lebih terang karena sinar matahari yang tepat berada di dua per tiga ketinggian melepas cahayanya untuk masuk dalam ruangan. Aroma obat-obatan medis masih menyeruak. Mendominasi oksigen di udara.

Aku terduduk di atas ranjang, menunggu seorang perawat datang melepas infus. Ini kali pertama aku di rawat di rumah sakit, sebuah pengalaman yang ingin cepat-cepat kulupakan. Tidak satu pun hal yang kusukai di sini. Tidak tempat tidur, infus, jarum suntik, makanan, kamar mandi, juga dokter.

Aku melihat ibu, duduk di atas ranjang yang sama. Tertunduk dalam diam. Ibu terlihat lelah hari ini, wajahnya tampak lesu. Ada cekungan di bawah kedua matanya. Tatapannya lemah, sedikit menyipit menyelakan rasa kantuknya.

Ruangan ini masih menyimpan hening. Seperti malam yang kurasa sangat panjang. Waktu seakan bermalas-malasan, enggan untuk berjalan seperti biasanya. Di saat itulah aku ingin menangis. Aku tidak tahan lagi dengan semua itu. Demam tinggi, radang tenggorokan, dan cacar di seluruh tubuh. Dan semua itu...
---

Aku berbaring di atas karpet tebal warna biru bermotif bunga-bunga coklat. Mataku terpejam menikmati hari pertama aku kembali ke rumah, tanpa berniat untuk tidur. Rasanya nyaman. Memang benar tidak ada rumah yang membosankan, yang ada hanyalah rumah yang membuat rindu.

“Ica, masih sakit kepalanya? Apa karena Ibu mukul dulu, ya?” Ucap ibu di sampingku.

Dan dari suara ibu, aku menyimak sebuah perasaan bersalah yang amat lamat. Suara itu juga mengubah bayang tangkapan mataku. Dinding hijau berubah menjadi barisan seng usang dengan karatnya.
Lubang-lubang bolong bekas paku, menyembulkan sinar matahari yang lurus.
Atap plafon putih yang kulihat menjadi persilangan bambu coklat dan ruak aroma tuanya, dan sebagian menjalar miring menumpu ratusan genteng jingga yang telah menghitam. Rumah memanjang berisi empat ruang itu masih sama. Teduh dengan hembusan angin dari pohon mangga di barat daya. Dan sinar hangat matahari yang kurindukan.
---
Bagian 2 🔜Pecahan Kasih Sayang

Wassalamu’alaikum, 안녕~♥ 

2 komentar: