Minggu, 04 Maret 2018

Bayangan Jingga (Bagian 2/End)

Buku Antologi Cerpen Tema Cinta Penerbit Kobarsa Media

Senyumnya pudar, tak terlihat menilik di tepi bibir jingganya. Namun mataku cukup menangkap bayangnya, ketika gadis itu menemukan cinta. Dia nampak berbinar sepanjang bercerita. Senyum palsunya benar-benar tak tersamarkan.

"Asa, kamu tahu? Cinta itu, sungguh membuatku memaknainya amat dalam. Aku bisa melakukan apa pun yang kumau, tanpa seorang pun yang melarang," jelasnya kemudian bersama senyumnya yang melebar. Aku tertegun. Ada apa dengan gadis ini? Secara tiba-tiba datang dan berkata hal absurd begitu saja.

Aku yakin, tak ada laki-laki yang dekat dengannya selain aku. Yang lain sebatas teman kelompok belajar dari tugas yang diberikan guru. Sudah lama, semenjak pertama kami masuk masa remaja, dan temannya sebelumnya adalah perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Itu pun hanya beberapa yang di kenalnya semenjak taman kanak-kanak.

Setiap hari aku selalu datang ke rumahnya atau sebaliknya. Ibunya dan ibuku juga berteman dekat. Satu-satunya laki-laki idolanya adalah ayahku. Dia selalu memujinya di depanku. Bahkan saat aku belum mengetahui apa-apa, dia pernah berkata, “Andai aku menjadi anak perempuannya, bukankah Ayahmu ingin anak perempuan?”

Ya, aku adalah anak tunggal dan dia perempuan. Tapi dia juga punya ayah, dan dia juga anak tunggal.

“Dan kau menjadi adikku? Sampai kapan pun aku tak mau. Aku hanya ingin menjadi temanmu, atau yang lebih.”  Matanya membulat sempurna, sedang mataku hanya bergerak ke kanan kiri tak mengerti. Oh, aku tahu! Aku berkata…

“Maksudmu, menjadi…PEMBANTU?” lalu tawanya terpecah tak kalah sempurna. Ah, aku tak percaya dia mengatakan hal itu, aku tak suka bercanda, tapi setidaknya dia tak mengerti apa yang kukatakan barusan. Itu melegakan.

“Kau, aku tak mau menemanimu memburu buku lagi,” aku meninggalkannya setelah dengan tegas mengatakannya. Berlalu dari kamarnya yang bertirai terbuka. Meski tak kupungkiri,  jantungku berdetak menyebalkan di depannya. Menjadi alasan yang cukup untuk merutuki diri sendiri. Sekeping keberanian yang sangat sulit kudapatkan. Di depannya, yang sudah lama kukenal.

---
"Asa, tunggu!" Gadis itu berlari dari sudut kantor. Teratur bunyi peraduan sepatu datarnya dengan lantai berubin besar. Rambutnya dikuncir rendah, tanpa poni yang biasanya sebagai tirai dahinya ketika SMA. Dia terlalu tua untuk berlarian seperti itu, guncang larinya mengangkat anak rambutnya, membuatnya berantakan. Meski dia tampak tetap segar, tidak sepertiku yang lusuh. Juga, cantik.

"Hey, kamu masih berhutang penjelasan padaku. Kamu lupa? Sahabat macam apa kamu," cengkraman tangannya di lenganku menuntunku untuk duduk di bangku panjang berplikstur coklat mengilat. Sedang dia berdiri di tepi balkon, memunggungi matahari yang mulai rebah. Dia benar-benar menjadi bayang sekarang. Namun cukup bersinar.

"Bukankah sudah kubilang? Itu tidak penting."

"Bagiku, itu sangat penting. Sekarang, coba jelaskan bagaimana mungkin senja itu kelabu?" kekanakan gadis senja memang tak pernah pudar.

"Aya, kau tahu, di mana letak senja?" akhirnya aku menyerah membuatnya lelah mengejar penjelasanku.

Kedua tangannya berpeluk erat di depan dada. Dahinya masih berkerut dalam, beberapa mikrosenti saja alisnya akan menyatu.

"Tentu saja barat. Mana mungkin matahari terbenam di utara, selatan, apalagi timur." Pelukan tangannya semakin erat.

"Ya, kau benar. Dan jika kau melihat ke ketiga arah yang kau sebut tadi, akan sepenuhnya kau temukan kelabu." Mataku menatapnya lembut. Seperti biasa tak pernah ada canda dari orang sepertiku. Dan aku yakin gadis senja telah mengenalku dengan baik.

Kerutan di dahinya menipis. Ada sebuah luka yang ia simpan untuk cintanya, masih mendasar di kedua mata. Cinta yang tak semua orang dapat mengenalnya. Tak ada.

"Pantaskah kau sebut senja itu jingga? Ketika lainnya kelabu yang pekat. Seperti kau hidup dalam bayangmu. Dan hanya seorang dirimu saja di sana."

"Tapi..." Aku memotong kata yang baru lahir dari bibirnya.

"Seseorang adalah tokoh utama dalam dunianya. Seperti matahari di antara senja. Dia tokoh utama seperti dirimu, dan bayangan jingga adalah duniamu. Bagaimana dengan kelabu? Sebuah tokoh yang memang seharusnya ada pada dunia yang sama, dan dia juga penting..."
Bibir gadis senja terkatup, "... Oleh karena itu, di dunia ini. Tak cukup dirimu saja yang bahagia," suaraku cukup yakin, namun tak sedikit pun niat melukainya. Tak ingin.

Kami diam. Dan senja itu benar-benar kelabu sekarang. Pendar lampu hanya temaram.
Hatiku tak bisa diam dalam kebisuan. Perasaan ini, sebuah lakon kelabu yang sukses mengintip jingga di kejauhan. Tetap sibuk mengemas senyum kelabu tanpa sirat. Dan selamanya berada di atas panggung yang berbeda.

"Maaf Asa. Aku tetap ingin di dunia ini. Sebagai matahari dan bayang jingganya. Maaf, aku mengabaikan kelabu yang kau kenalkan padaku itu."

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar