Rabu, 14 Februari 2018

Hijab Part Time menuju Full Time


dokumen pribadi: my sketch
Serupa gerakan regu paduan suara yang teratur, kakiku mengikuti arah objek di depanku yang sedang berenang. Ke kanan lalu ke kiri sambil jariku kutempel di kaca seolah terbawa arus. 

Lepas saja kerudungnya tidak apa-apa, kamu tidak kepanasan apa?” tanya ibu sambil membongkar isi tasnya.

Aku menggeleng lalu melanjutkan kegiatanku bersama ikan arwana besar dalam aquarium. Adalah hal yang selalu kulakukan setiap berkunjung ke rumah kakek di luar kota. Rutinnya kami datang kemari saat lebaran. Selain untuk badanan1 juga mengantar kue satu2 dan manisan. Dan bersama imajinasi anak kecil berumur 7 tahun, aku dan ikan arwana milik kakek, menari bersama.

Sehari-hari aku mengenakan baju kaos dan celana pendek, baju bekas anak laki-laki entah milik siapa. Rambut dipangkas pendek yang menambah kesan ‘laki-lakiku’. Benar ketiga kakakku semuanya laki-laki, tapi aku perempuan. Memakai baju muslim adalah satu momen langka, hanya saat lebaran misalnya. Sehingga pada saat momen itu datang, aku enggan melepas kerudung setelan baju muslim pemberian bude. Sumuk3 sih, tapi aku menikmati busana ‘perempuanku’.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Badanan1: sungkem saat idul fitri
kue satu2: kue berwarna putih dari gula dan kacang hijau yang dihaluskan, dibentuk dengan cetakan dan dijemur agar mengeras.
Sumuk3: gerah
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku lahir dalam keluarga muslim yang ‘tak begitu’ taat. Kewajiban shalat memang dijalankan, puasa dan zakatpun juga. Tapi menutup aurat, dipandang bukan suatu keharusan yang padahal harus untuk perempuan. Hal itu terbawa dalam siklus hidupku dalam waktu yang lama.
           
Hijab fisik atau hijab hati lebih dulu?

Aku tidak menanyakan hal itu pada diriku, tak seperti muslimah yang masih bimbang kebanyakan. Hatiku tahu betul jawabannya. Memperbaiki hati adalah kegiatan berproses seumur hidup, karena hati begitu mudah dibolak-balikkan. Jika aku menunggu hatiku benar-benar baik baru ‘hijab fisik’, tentulah makin bertambah banyak dosa dalam catatan amal. 

Yang mengecewakan, aku masih belum berhijab saat itu. Menginjak usia remaja aku mulai tak tenang. Sejujurnya ingin sekali berhijab, hanya saja ada alasan yang sulit bagiku, tapi kurasa mudah untuk orang lain. Karena uang, sebegitu klisenya uang menjadi keterbatasanku. Agaknya aku mulai muak dengan lembaran kertas yang banyak dicari manusia itu.

Keinginan berhijab yang begitu kuat lahir saat kelas X dekat dengan kenaikan ke kelas XI. Salah satu pemicunya, selain hatiku yang tak tenang adalah buku ‘Salon Kepribadian’ karya bunda Asma Nadia. Karena buku itulah, ketenangan hatiku makin diusik, yang puncaknya ketika magang di sebuah perusahaan milik Korea-Indonesia di kotaku, aku memutuskan berhijab ‘part time’. Aku benar-benar memikirkan ‘aku’ dan ‘auratku’.

“Ca, kamu sekarang berhijab?” tanya Una saat aku datang ke rumahnya. Aku dan Una magang di tempat berbeda, sehingga kami jarang bertemu. 

“Hanya ketika di rumah dan saat bepergian, nanti kalau kita sekolah lagi ya aku tidak berhijab seperti biasanya. Apalagi magang, resikonya besar ketika naik ke mesin produksi. Aku berhijab semampuku dulu, Na,” jelasku padanya. 

Temanku itu pernah bercerita, ibunya menawarkan untuk membuatkan seragam sekolah panjang (untuk dipadukan dengan kerudung), saat itu dia menjawab belum ingin. Ah, andai ibuku yang menawarkan demikian. Tentu saja ini khayalan, bahkan aku harus berpikir ulang jika ingin meminta. Mengganti seragam sekolah seperti tadi tidak masuk anggaran belanja keluarga. Sedangkan waktu kami hingga lulus nanti tinggal beberapa bulan. Ini adalah ide gila, barangkali ibuku akan berkata demikian.

Tak lama setelahnya, kudengar Una memutuskan berhijab. Alhamdulillah. Tawaran ibunya diambilnya sekarang. Dia berhijab ketika di rumah dan sekolah. Ohya, perempuan di kelasku hanya tiga, selebihnya laki-laki. Satu orang dari kami bertiga adalah non muslim. Perempuan di jurusan Teknik Tenaga Listrik adalah minoritas dalam minoritas.

Menyelesaikan magang selama tiga bulan, kami pun kembali belajar di sekolah. Berhijabnya Una cukup menarik perhatian banyak warga sekolah, termasuk dua adik tingkat satu jurusan yang cukup dekat denganku.

“Kak Ica, kenapa tidak seperti kak Una?” komentar Fathur saat bertemu denganku di area parkir pada jam istirahat, disambut anggukan Gerby di sampingnya. Ya Allah, ucapannya sedikit membuat hatiku kebas.

“Kalau kamu mau tahu, kakak belum bisa berhijab saat sekolah, selebihnya ketika di rumah dan bepergian sudah mengenakan hijab,” ucapku sambil membenarkan posisi kertas yang kubawa.

“Kenapa?” celetuk keduanya bersamaan. Aku yakin mereka akan tak sepenuhnya paham masalahku. Tapi aku mencoba menjelaskan.
 
“Karena sebentar lagi lulus, dan jika ingin berhijab di sekolah maka harus membuat seragam baru, kakak tak ada uang untuk itu. Insya Allah, saat bekerja nanti kakak akan berhijab sepenuhnya,” dengan pelan aku mengutarakan ‘alasan’.

Pada akhirnya pun kami berdebat perihal hijab itu. Tidak sampai cakar-mencakar tentunya, tapi aku tahu mereka begitu karena peduli denganku.


 
Catatan Impian
            ---

‘Hijrah itu mudah, istiqomah yang susah’, aku ikut membenarkan kalimat itu karena aku pernah satu kali melepas hijabku. Tentu aku menyesal, sangat menyesali oleh karenanya aku bertekad untuk tidak mengulangi.
Buku 110 Kekeliruan dalam Berjilbab

Jaman sekarang banyak yang menjadikan hijab sebagai tren busana dan banyak dari mereka yang tak sadar berada dalam kekeliruan; secara syar’i, estetika dan juga presepsi mengenai hijab itu cupu dan penuh keterbatasan. Pada suatu hari aku menemukan buku yang membahas lengkap mengenai kekeliruan itu. Mataku benar-benar terbelalak melihat judulnya, yang kemudian menggerakkan tanganku untuk meraihnya dari rak baru berwarna biru di perpustakaan daerah. Melihat angka dalam ratusan itu seketika aku bertanya dalam hati, sebegitu banyak kah?

2018 adalah tahun kedua aku berhijab full time.

Menuju hijab full time itu, aku banyak belajar dan membaca tentang kain yang menutupi kepalaku. Satu helai kain yang sebenarnya tak berat sama sekali, tapi aku menyadari inilah identitasku sebagai seorang muslimah. Hijab sama halnya membawa agama dalam berbusana, karena ini perintah. Sama halnya proses memperbaiki hati, hijabku juga sebuah proses. Bagaimana tata cara berhijab, ternyata tidak boleh pendek yang artinya harus menutupi dada, kain tak boleh tipis dan ketat, juga banyak hal lainnya. Termasuk hal yang pada awalnya kurasa sebuah kekuranganku sebagai perempuan, yakni tidak bisa dan tidak suka berdandan. Berdandan tentu boleh, tapi ada yang tergolong tabarruj, nah tabarruj itulah yang dilarang.

Aku yang sekarang adalah pejuang mimpi; mimpi menjadi Penulis, Blogger, Pelukis, dan Statistisi.
Hijaber Syar'i pun bisa tetap cool, energik, dan inspiratif.

Mengutip satu kalimat klise yang tak kutahu awalnya dari siapa, atau barangkali aku lupa, yaitu:
Berhijab bukan berarti seorang muslimah telah menjadi  sempurna, namun hijab adalah satu langkah menyempurnakan taat kepadaNya, juga satu langkah dari begitu banyak agenda ibadah.

Mari Istiqomah! 
---
Cerpen ini diikutsertakan dalam Blog Competition Menulis Cerpen yang diselenggarakan FLP (Forum Lingkar Pena), dengan Tema Seribu Kisah Blogger Syar'i yang tetap Cool.
                       
           
           
           
           

1 komentar:

  1. Jkeren ica.. Suatu saat ada lomba lagi kalimat di akhirmu itu aku ikuti hehe aku ga ada... Yaah pesimis menang deh

    BalasHapus