dokumen pribadi: my sketch |
Serupa gerakan
regu paduan suara yang teratur, kakiku mengikuti arah objek di depanku yang
sedang berenang. Ke kanan lalu ke kiri sambil jariku kutempel di kaca seolah
terbawa arus.
“Lepas saja
kerudungnya tidak apa-apa, kamu tidak kepanasan apa?” tanya ibu sambil
membongkar isi tasnya.
Aku menggeleng lalu melanjutkan kegiatanku bersama ikan
arwana besar dalam aquarium. Adalah
hal yang selalu kulakukan setiap berkunjung ke rumah kakek di luar kota. Rutinnya
kami datang kemari saat lebaran. Selain untuk badanan1 juga mengantar kue satu2 dan manisan. Dan bersama imajinasi anak kecil
berumur 7 tahun, aku dan ikan arwana milik kakek, menari bersama.
Sehari-hari aku mengenakan baju kaos dan celana pendek,
baju bekas anak laki-laki entah milik siapa. Rambut dipangkas pendek yang
menambah kesan ‘laki-lakiku’. Benar ketiga kakakku semuanya laki-laki, tapi aku
perempuan. Memakai baju muslim adalah satu momen langka, hanya saat lebaran
misalnya. Sehingga pada saat momen itu datang, aku enggan melepas kerudung
setelan baju muslim pemberian bude. Sumuk3
sih, tapi aku menikmati busana ‘perempuanku’.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Badanan1: sungkem saat idul fitri
kue satu2: kue berwarna putih dari gula dan kacang hijau yang dihaluskan, dibentuk dengan cetakan dan dijemur agar mengeras.
Sumuk3: gerah
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku lahir dalam keluarga muslim yang ‘tak begitu’ taat.
Kewajiban shalat memang dijalankan, puasa dan zakatpun juga. Tapi menutup
aurat, dipandang bukan suatu keharusan yang padahal harus untuk perempuan. Hal itu terbawa dalam siklus hidupku dalam
waktu yang lama.
Hijab fisik atau hijab
hati lebih dulu?
Aku tidak
menanyakan hal itu pada diriku, tak seperti muslimah yang masih bimbang kebanyakan.
Hatiku tahu betul jawabannya. Memperbaiki hati adalah kegiatan berproses seumur
hidup, karena hati begitu mudah dibolak-balikkan. Jika aku menunggu hatiku
benar-benar baik baru ‘hijab fisik’, tentulah makin bertambah banyak dosa dalam catatan amal.
Yang mengecewakan, aku masih belum berhijab saat itu. Menginjak usia remaja aku mulai
tak tenang. Sejujurnya ingin sekali berhijab, hanya saja ada alasan yang sulit
bagiku, tapi kurasa mudah untuk orang lain. Karena uang, sebegitu klisenya uang
menjadi keterbatasanku. Agaknya aku mulai muak dengan lembaran kertas yang
banyak dicari manusia itu.
Keinginan berhijab yang begitu kuat lahir saat kelas X
dekat dengan kenaikan ke kelas XI. Salah satu pemicunya, selain hatiku yang tak
tenang adalah buku ‘Salon Kepribadian’ karya bunda Asma Nadia. Karena buku
itulah, ketenangan hatiku makin diusik, yang puncaknya ketika magang di sebuah
perusahaan milik Korea-Indonesia di kotaku, aku memutuskan berhijab ‘part time’. Aku benar-benar memikirkan ‘aku’
dan ‘auratku’.
“Ca,
kamu sekarang berhijab?” tanya Una saat aku datang ke rumahnya. Aku dan Una
magang di tempat berbeda, sehingga kami jarang bertemu.
“Hanya ketika di rumah dan saat bepergian, nanti kalau
kita sekolah lagi ya aku tidak berhijab seperti biasanya. Apalagi magang,
resikonya besar ketika naik ke mesin produksi. Aku berhijab semampuku dulu, Na,”
jelasku padanya.
Temanku itu pernah bercerita, ibunya
menawarkan untuk membuatkan seragam sekolah panjang (untuk dipadukan dengan
kerudung), saat itu dia menjawab belum ingin. Ah, andai ibuku yang menawarkan
demikian. Tentu saja ini khayalan, bahkan aku harus berpikir ulang jika ingin
meminta. Mengganti seragam sekolah seperti tadi tidak masuk anggaran belanja
keluarga. Sedangkan waktu kami hingga lulus nanti tinggal beberapa bulan. Ini adalah ide gila, barangkali ibuku
akan berkata demikian.
Tak lama setelahnya, kudengar Una memutuskan berhijab. Alhamdulillah. Tawaran ibunya diambilnya
sekarang. Dia berhijab ketika di rumah dan sekolah. Ohya, perempuan di kelasku
hanya tiga, selebihnya laki-laki. Satu orang dari kami bertiga adalah non
muslim. Perempuan di jurusan Teknik Tenaga Listrik adalah minoritas dalam
minoritas.
Menyelesaikan magang selama tiga bulan, kami pun kembali
belajar di sekolah. Berhijabnya Una cukup menarik perhatian banyak warga
sekolah, termasuk dua adik tingkat satu jurusan yang cukup dekat denganku.
“Kak Ica, kenapa tidak seperti kak Una?” komentar Fathur
saat bertemu denganku di area parkir pada jam istirahat, disambut anggukan
Gerby di sampingnya. Ya Allah, ucapannya sedikit membuat hatiku kebas.
“Kalau kamu mau tahu, kakak belum bisa berhijab saat
sekolah, selebihnya ketika di rumah dan bepergian sudah mengenakan hijab,”
ucapku sambil membenarkan posisi kertas yang kubawa.
“Kenapa?” celetuk keduanya bersamaan. Aku yakin
mereka akan tak sepenuhnya paham masalahku. Tapi aku mencoba menjelaskan.
“Karena sebentar lagi lulus, dan jika ingin berhijab di
sekolah maka harus membuat seragam baru, kakak tak ada uang untuk itu. Insya Allah, saat bekerja nanti kakak
akan berhijab sepenuhnya,” dengan pelan aku mengutarakan ‘alasan’.
Pada akhirnya pun
kami berdebat perihal hijab itu. Tidak sampai cakar-mencakar tentunya, tapi aku
tahu mereka begitu karena peduli denganku.
---
‘Hijrah itu mudah, istiqomah yang susah’, aku ikut
membenarkan kalimat itu karena aku pernah satu kali melepas hijabku. Tentu aku
menyesal, sangat menyesali oleh karenanya aku bertekad untuk tidak mengulangi.
Buku 110 Kekeliruan dalam Berjilbab |
Jaman sekarang banyak yang menjadikan hijab sebagai tren
busana dan banyak dari mereka yang tak sadar berada dalam kekeliruan; secara
syar’i, estetika dan juga presepsi mengenai hijab itu cupu dan penuh keterbatasan. Pada suatu hari aku
menemukan buku yang membahas lengkap mengenai kekeliruan itu. Mataku benar-benar
terbelalak melihat judulnya, yang kemudian menggerakkan tanganku untuk
meraihnya dari rak baru berwarna biru di perpustakaan daerah. Melihat angka dalam
ratusan itu seketika aku bertanya dalam hati, sebegitu banyak kah?
2018 adalah tahun kedua aku berhijab full time.
Menuju hijab full
time itu, aku banyak belajar dan membaca tentang kain yang menutupi
kepalaku. Satu helai kain yang sebenarnya tak berat sama sekali, tapi aku
menyadari inilah identitasku sebagai seorang muslimah. Hijab sama halnya
membawa agama dalam berbusana, karena ini perintah. Sama halnya proses
memperbaiki hati, hijabku juga sebuah proses. Bagaimana tata cara berhijab, ternyata
tidak boleh pendek yang artinya harus menutupi dada, kain tak boleh tipis dan
ketat, juga banyak hal lainnya. Termasuk hal yang pada awalnya kurasa sebuah
kekuranganku sebagai perempuan, yakni tidak bisa dan tidak suka berdandan. Berdandan tentu boleh, tapi ada yang tergolong tabarruj, nah tabarruj itulah yang dilarang.
Aku yang sekarang adalah pejuang mimpi; mimpi menjadi Penulis, Blogger, Pelukis, dan Statistisi.
Hijaber Syar'i pun bisa tetap cool, energik, dan inspiratif.
Hijaber Syar'i pun bisa tetap cool, energik, dan inspiratif.
Mengutip satu kalimat klise yang tak kutahu awalnya dari
siapa, atau barangkali aku lupa, yaitu:
Berhijab bukan berarti seorang muslimah telah menjadi sempurna, namun hijab adalah satu langkah menyempurnakan taat kepadaNya, juga satu langkah dari begitu banyak agenda ibadah.
Mari Istiqomah!
Mari Istiqomah!
---
Cerpen ini diikutsertakan dalam Blog Competition Menulis Cerpen yang diselenggarakan FLP (Forum Lingkar Pena), dengan Tema Seribu Kisah Blogger Syar'i yang tetap Cool.
Jkeren ica.. Suatu saat ada lomba lagi kalimat di akhirmu itu aku ikuti hehe aku ga ada... Yaah pesimis menang deh
BalasHapus