Minggu, 11 Februari 2018

Makan Angin


Source Google

Assalamu'alaikum, 오늘은 날씨가 어때요?


Satu sore diakhir bulan Januari, indra pendengaranku teralihkan narasi sebuah acara televisi, di ruang tamu. Saat itu aku baru saja selesai shalat Ashar. Dari pintu kamar aku bisa sedikit mengintip sumber suara itu. Aduh, aku tergiur sekali untuk menonton yang mestinya melanjutkan dzikir dan berdoa.

'Ingat Ica, Allah itu mudah cemburu!'

Tak seperti anak kecil yang bisa begitu fokus pada satu hal yang ia kerjakan, aku sangat mudah terganggu situasi sekitar. Tapi aku sadar bukan berarti tak bisa, hanya saja mungkin aku tak benar-benar 'memerintah' pikiranku untuk fokus. Sebisa mungkin meski telingaku masih menangkap suara anak perempuan kecil itu, lisanku melangitkan doa yang sama.

Tanpa melepas mukena, dari dalam kamar di atas sajadah, aku ikut menonton acara yang dulu sering kutonton saat SD. Dalam acara ini, dicari seseorang yang mau membantu 'agen' dengan 'kasus' yang dimilikinya. Mungkin kamu pernah menonton juga? Orang yang membantu tadi akan diberi imbalan kemudian. Menarik sekali menurutku, asal jangan sampai karena acara yang ditayangkan di televisi ini orang yang menonton berpikir akan membantu 'untuk' mendapatkan imbalan serupa.

Agen saat itu adalah dua anak kecil berpakaian lusuh yang berjalan menawarkan sebuah lukisan sederhana di tangannya, kepada orang-orang di pinggir jalan.

"... harganya lima puluh ribu rupiah. Nenek sedang sakit, saya tidak punya uang untuk beli obat," begitulah anak perempuan yang lebih besar menjelaskan mengapa ia menjual sebuah lukisan.

Aku tak yakin, seorang perempuan yang sedang duduk menunggu dengan sebuah helm dipangkuan, adalah orang keberapa yang mendapat 'permintaan' untuk membeli lukisan itu. Tapi lagi-lagi, seperti objek sebelumnya, mba tadi menolak dengan alasan tidak punya uang untuk membeli lukisan seharga goban itu.

Dua anak perempuan itu mendapat penolakan dengan alasan yang sama, dari banyak orang yang ditanyainya. Barangkali ini adalah salah satu agen terlama mencari seseorang yang mau memberikan bantuan. 

Akupun menanyakan pada diriku sendiri, bila aku yang menjadi mba di televisi, bersediakah untuk membeli? Pikiran pertama yang terbersit adalah, untuk sebuah lukisan rasanya agak berat membelanjakan uang sebanyak itu. Ya, bagiku itu besar, barangkali mba itu berpikir demikian juga. Tapi dari sisi bagian diriku yang lain aku merasa egois, aku pernah dibayar dengan harga yang sama untuk satu wajah yang kugambar, meski aku tak memintanya. Perbedaannya adalah wajah yang kugambar atas permintaan orang yang mau membeli, dan anak perempuan itu mencari seseorang yang mau untuk membeli lukisannya. Dalam Egoisme psikologis berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri.

Seorang lelaki tua berambut ikal duduk di kursi penumpang becak miliknya. Mata tuanya tak begitu terlihat apakah terbuka atau sedang terpejam, dan tertidur. Tidur, kurasa hal yang wajar dilakukan 'pembecak' (mari menyebut tukang becak demikian) jika tak ada penumpang. Sekarang ini banyak yang punya kendaraan pribadi, entah itu sepeda motor atau mobil. Kalaupun ada, lebih banyak orang yang memilih becak motor daripada becak tradisional yang dikayuh dua kaki manusia di kemudi belakang. Tapi aku salah satu yang menginginkan hal sebaliknya. Sebisa mungkin jika ada, aku harus naik becak tradisional. 

Sejak kecil dulu, becak adalah transportasi umum pertama yang membuatku kagum, sedangkan yang kedua delman. Aku selalu senang melihat jalan aspal hitam dibawah yang terlihat seperti berjalan, yang padahal becak kamilah yang berjalan di atasnya, sama halnya aku melihat bulan di langit yang tentu saja tidak berjalan seperti dalam pikiranku. Seringkali aku dan mamake berempati, kasihan sekali pengemudi becak tadi, pasti merasa keberatan saat mengayuh pedal. Karena tubuh mamake dan nenek itu gemuk, ditambah massa tubuhku dan barang bawaan kami. Aku membayangkan beban itu terkumpul di kakinya, di varises yang ia miliki.

"... harganya lima puluh ribu rupiah. Nenek sedang sakit, saya tidak punya uang untuk beli obat," anak perempuan tadi mengulang kalimatnya kepada pembecak tua. Dialog mereka tertulis di layar karena suara mereka tak begitu jelas terdengar. Mataku yang entah sudah minus berapa tak begitu jelas membaca apa isinya.

Monolog dalam otakku bertaruh, apakah 'pembecak' mau bantu tidak? 
Hmm, mau.
Sepertinya, tidak.

Beberapa saat setelah berdialog, dua anak perempuan itu naik di kursi penumpang dan diantar ke apotek. YA! Akhirnya,...

Dari sekian banyak orang, dari perbedaan yang begitu banyak. Penampilan, pekerjaan, dan kemampuan yang sedikitnya tersirat lebih 'mampu' dari bapak tua pembecak itu, mengapa justru tidak menolong? Karena nominal uangkah, atau egoisme psikologiskah? Atau entahlah, aku juga mempertanyakan pada diriku. 

Sejauh yang kulihat, bapak tua itu lebih tanggap pada obat yang dibutuhkan untuk nenek anak kecil tadi sehingga beliau bergegas mengajak keduanya ke apotek. Kenapa yang lain tidak? 

Aku diam-diam tersenyum, aku telah menyadarinya. Dan aku yakin, semua orang bisa menyadarinya.

Satu hal yang tak pernah kulupakan dari becak, diperjalanan biasanya aku membuka mulut lebar-lebar. Merasakan udara yang masuk ke dalam rongga mulut. Saat itu aku tak peduli apa itu polusi, seberapa kotor udara yang tak terlihat itu. Sederhananya, aku dulu tak tahu, hanya saja ingin melakukannya. Karena aku dulu adalah, bukan orang dewasa yang tahu banyak hal dan rumitnya kehidupan tapi melewatkan hal kecil, yang sebenarnya berarti BESAR.

Wassalamu'alaikum, 안녕~



  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar