Rabu, 07 Februari 2018

Pecahan Kasih Sayang (Bagian 3)

Buku Antologi Cerpen 'Rumahku Akan Selalu Indah' 
Assalamu'alaikum, 또 만나요~

Ending part dari cerpen 'Pecahan Kasih Sayang', selamat membaca. 😉
🐼
Pecahan Kasih Sayang 🔙Bagian 2
Tidak lama ibu masuk membawa panci pantatnya gosong,  dengan kain di kedua telinga panci. Mencampurnya dengan air dingin hingga terasa hangat. Aku menyukainya.

"Keramas ya, pakai airnya sedikit-sedikit supaya pas," suara itu hilang begitu saja. Sementara tanganku telah mengambil air dalam gayung penuh, lalu mengguyurnya dari batas leher dan tengkukku bergantian.

Tanpa sadar air itu hanya tersisa setengah. Aku belum menghentikan siraman hangat itu. Nyaman sekali.

Di luar, langkah gemuruh kaki berdatangan. Memanggil nama ibu, yang masih berdiri di sampingku. Aku tidak yakin, tapi kebutaan ini mulai memudar. Matahari mulai membuka pelupuknya, membanjir sinarnya yang belum seberapa.

Ibu tampak gelisah, seperti di buru waktu atau sebaliknya. Memburu waktu. Atau bahkan Ibu belum bersiap untuk berangkat sementara itu, rekannya telah datang menjemput, dengan jalan kaki. Sepintas aku tak cukup mengerti, air hangat ini benar-benar hangat.

Bukan sesuatu yang sebelumnya kuperkirakan. Gayung bermulut lumut dalam genggaman berpindah tangan ibu. Aku tak mengerti, ini belum selesai. Air hangat masih tersisa cukup banyak. Tanpa kata ibu mengambil air dingin di ember yang lain, mengguyur kasar dari ujung kepalaku. Dan satu lagi, tak pernah kuperkirakan. Gayung itu mendarat setelahnya. Dan gemertak keras terdengar.

Gayung jingga itu pecah. Benar-benar pecah karena kepalaku. Saat itu juga.
Handuk kumuh berwarna merah pudar melingkari tubuh mungilku. Dari belakang ibu mendorongku masuk rumah. Mendudukan aku di atas ranjang, di sebelah seragam putih berompi biru beserta topi dengan warna yang senada. Aku biasa memakainya sendiri, tidak sulit.

Ada sesuatu yang hampa. Aku masih terdiam. Menjuntai penasaran dalam hatiku. Gemerisik dari dapur berlangsung singkat, lalu ibu pergi bersama rekannya setelah itu.

Bukan. Bukan karena gayung pecah di atas kepalaku. Hanya saja, aku tak menyadarinya. Aku tidak marah atau ingin terisak. Yang kurasa hanyalah...gamang.
---

"Mungkin..." kalimat Ibu menggantung, "Ica butuh kasih sayang saat itu." suaranya terdengar parau. Di detik itulah dinding kembali berwarna hijau, silang bambu mendatar berubah plafon putih pias, dan keramik hijau berpetak besar di bawah karpet.

Lengkung tulus termagut di sudut bibirku. Mataku berbinar. Dan hatiku sedikit berbisik. "Kini aku mengerti. Aku yakin ada salah satu kasih sayangmu di antara pecahan gayung itu. Ibu." 

Di akhir sepenggal cerita aku ingin mengenang pecahan itu dalam bingkai cantik percikan air dan warna embun pagi. Aku mencintaimu, Bu. Sungguh.
🐼

Foto di awal adalah sampul buku yang berisi cerpen yang dipilih menjadi kontributor lomba cerpen bertema rumah. Rasanya begitu luar biasa ketika itu, meski tak menang menjadi kontributor dan mendapat e-sertifikat. Bagi penulis pemula (aku juga), dengan mengikuti lomba adalah salah satu cara tepat untuk berlatih dan mendapatkan pengalaman.

Jangan jatuh karena gagal, jangan terbang karena menang, tapi teruslah berjalan ketika bertemu kedua hasil itu. Semangat ✊

Wassalamu'alaikum, 안녕~♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar